Susi mengatakan, Pesantren di Bandung telah bertransformasi menjadi pesantren modern, yang memadukan nilai-nilai agama dengan pendidikan umum dan teknologi terkini dan juga mengasah bisnis UMKM para santri.
Menurut data Kementerian Agama Kota Bandung, terdapat 97 Pondok Pesantren di Kota Bandung dengan jumlah santri 15.085 orang 8.608 santri mukim 6.477 santri non mukim.
Namun menurut Susi, secara umum, Pondok Pesantren di Kota Bandung menghadapi masalah yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas sarana-prasarana, ketersediaan pembiayaan, kualitas SDM, kurikulum dan strategi pembelajaran, serta manajemen/tata kelola pesantren.
“Modal sosial pondok pesantren di Kota Bandung juga sangat rentan oleh friksi/konflik antar pengurus dan/atau akibat ulah “oknum” ustadz yang melakukan perbuatan melawan hukum,” ujarnya.
Susi mengatakan, secara eskternal, Pondok Pesantren di Kota Bandung juga menghadapi permasalahan belum kuatnya ‘jejaring kerja’ antar pondok pesantren dan pihak luar pesantren, masih adanya resistensi atau stigma negatif ‘radikal’ akibat kasus-kasus yang dilakukan ‘oknum’ pesantren, termasuk masih adanya ‘mis- rekognisi’ kepada lulusan Pondok Pesantren.
“Selama ini aspirasi masyarakat terkait dukungan terhadap pesantren masih sulit diakomodasi karena keterbatasan regulasi,” ujarnya.
Susi mengatakan, hibah yang diberikan kepada pesantren terbatas hanya pada nominal kecil, seperti Rp 50 juta untuk operasional, dan maksimal Rp 250 juta untuk pembangunan. Selebihnya, pesantren masih harus mengandalkan swadaya masyarakat.
“Adanya landasan hukum berupa Raperda, dukungan dari APBD diharapkan lebih bisa membantu Pesantren dalam kegiatannya,” ujar Susi.